Sabtu, 14 Mei 2011

Lelah Merasa Sakit

5 mei 2011

Ketika suatu saat ketentraman batin telah datang akibat beban yang telah terlepas dari pundak. Seakan aku terlelap dan tidak menyadari bahwa tak satupun tugas yang telah selesai karena setiap inchi penyelesaiannya tidak kuhargai sebagai ilmu yang diingat. Kekuranganku memang umum, tapi fatal. Kebiasaanku untuk melupakan setiap pengetahuan yang kudapat justru membuatku tampak tidak pintar di hari kedepan.

Tuhan adil. Tuhan mengerti apa yang baik dan buruk untukku. Sifat yang menyesakkan dada dan pikiran itu terkadang ingin kutangisi. Tapi orang bilang tidak pantas menangisi kekalahan sendiri. Seperti pecundang yang meminta belas kasihan. Terkadang aku ingin memperbaiki diri dan berlatih untuk mengingat. Tapi ternyata sulit untuk benar-benar belajar dan menjadi orang yang mengerti dan memahami satu hal untuk waktu yang lama. Lalu apakah cita-citaku itu akan terwujud dengan kegalauan akan kekuranganku ini. Bergelung dan bimbang di tengah ketidakmampuan yang nyata. Cita-citaku yang itu…

Jajaran pepohonan yang kecil-kecil itu tampak kering dan haus dipinggiran lapangan sekolah. Kesan pertama yang aku lihat di SMP yang bapak bilang SMP terbaik di kabupaten adalah panas itu, haus itu. Lalu mataku terpaku pada tiga jendela besar yang daun pintunya menggantung diluar diam. Bangunan peninggalan Belanda, kupikir. Daun pintunya bergerak-gerak sebentar setelah seseorang menghardiknya dengan lengan. Seorang laki-laki dengan kacamata keluar dan tandanya aku harus masuk. Giliranku mengisi formulir pendaftaran tes masuk.

Beberapa hal yang membingungkan kuisi dengan penaku yang baru. Pena yang kuambil dari warung emak tadi pagi. Sejenak aku merasa mantap, tapi wajah bapakku diluar sana tampak jelas raut ragu. Sejenak kemudian hatiku merasa teriris. Terbetik nyeri didadaku sebentar, lalu hal itu hilang setelah aku menuliskan nem ku di formulir itu. Aku cukup pintar. Bapak tak usah ragu.
Beberapa waktu kemudian setelah semua berkas yang bingung itu selesai. Aku pulang dan duduk dibelakang bapak lagi. Bapak mengajakku ke sebuah warung bakso. Lalu beberapa saat setelah bapak selesai merokok kami pun pulang. Melewati jalan yang sama di pagi tadi.

Selasa, 10 Mei 2011

there is no 2nd chance

14 Januari 2011

Yang biasanya aku inginkan adalah memiliki kebahagiaan sama seperti yang dirasakan oleh orang-orang yang baik. Tapi terkadang aku menyadari bahwa diriku sendiri tidak cukup baik untuk merasakan kebahagiaan. Tapi terkadang itu hanya karena kesialan atau memang benar-benar telah ditakdirkan begitu adanya. Beberapa orang merasa beruntung karena kebahagiaan yang didapatnya, sebagian merasa bangga, dan sisanya menyombongkan diri. Dan aku merupakan bagian yang paling hina karena aku tidak mengakui kebahagiaan yang telah diberikan kepadaku. Semoga apa yang dikatakan hujan waktu itu tentang langit yang menangis tidaklah isapan jempolnya belaka.

Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti seperti apa makna mengambil resiko itu. Seakan semua kemauanku akan dipenuhi oleh Tuhan, mungkin begitulah pikiran seorang anak kelas 6 SD. Seperti aku memutuskan untuk berangkat pagi-pagi gelap dan mendapati sepatuku basah tersiram rintik embun dirumput. Diatas sepeda motor tahun1990 milik bapak aku meringkuk karena dingin dipunggung bapak yang hangat. Ini pertama kalinya aku melakukan perjalanan dengan sepeda motor sejauh ini. Mesin sepeda motor itu menderu dan meninggalkan asap putih di belakang ketika bapak memanaskan mesinnya.
Dengan canggung aku berpegangan pada bapak. Tak pernah sebelumnya aku merasakan bapak begitu nyata didepanku membimbingku. Seakan hanya beliau yang akan menjagaku dari apapun di depan sana. Dadaku begitu tenteram dan tenang waktu itu seperti tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Satu jam perjalanan ke depan tidak terbayangkan olehku seperti apa. Jadi waktu berlalu bersama deretan pepohonan yang kulewati begitu saja sampai terkadang rasa kantuk menggelantung dan bapak selalu tahu ketika aku mengantuk, tiga ketukan di lutut bermaksud membangunkanku. Tapi terkadang ketukan itu sia-sia karena segera setelah itu mataku berat dan terpejam.

Rabu, 23 Februari 2011

Am I grown up?


Remah keripik untuk hari ini :D
6 Desember 2010

Apa yang mereka katakan tentang sahabat seperti perkataan penyair dengan mata menyipit yang dibuat-buat. Mengumbar keindahan pada bibirnya sembari ia menelan ludah karena kebohongannya, menyenangkan sekali, tanpa ia tahu bahwa itu terlihat jelas. Tidak ada sahabat dari orang yang picik sepertiku, beruntungnya aku menyadarinya, beruntung.

Emak menyuruhku makan saat aku berhenti menulis secarik kertas yang akan kubawa ke kali hari ini. Gumpalan asap dari dapur membuatku justru semakin bergairah. Setelah menelan semampuku pada suapan terakhir, setengah berlari aku menuju meja kerja bapak dan mencari-cari kumpulan kertas edaran masuk SMP yang dibawanya dari kota. Aku beruntung bapakku seorang guru.
Kubawa secarik kertas yang kubuat hari ini, membawanya ke kali, di ceruk akar pohon yang setengah akarnya mati. Sejak kecil aku terbiasa membuang kertas-kertasku yang berharga di sana, sampai beberapa membusuk karena hujan dan basah.
Hari ini mendung dan udara lembab. Kulemparkan begitu saja sampah-sampahku lalu aku duduk di pinggir kali. Melamun sebentar tentang cita-citaku jadi guru lalu tak lama kemudian beranjak untuk kembali ke rumah, menemui bapak yang pasti sudah pulang dari sekolah, aku harus bicara.
Bapakku tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus, wajahnya tegas dengan kumis yang kebapakan. Menyenangkan ketika melihat bapak memperbaiki almari emak yang kakinya rompal tergilas rayap, membuatku dulu sempat ingin menjadi seorang tukang kayu atau semacamnya. Tapi bapak lebih sering diam dengan rokoknya, atau tidur ketika pulang kerja. Lebih sering aku diam ketika kami bersama-sama, menonton tivi atau belajar dan bapak di meja kerjanya yang terang.
Kudapati bapak bergeming dengan penanya di meja tamu.kacamatanya yang hampir melewati setengah hidungnya, bekilau-kilau terkena cahaya jam 4 sore yang redup dan malas karena mendung. Aku berdiri disamping kursinya yang coklat kayu. 10 detik berlalu tanpa bapak menyadari bahwa aku ada disana sampai ketika emak datang membawa segelas teh pekat dengan asap mengepul-ngepul di atasnya.
“Wah, kenapa nduk kok berdiri saja disitu? Mau ngomong apa sama bapakmu?”. Emak seakan bisa membaca pikiranku.
“Ngg…anu mak… upik pengen sekolah di kota”. Tertegun aku menelan ludah sambil melirik bapak yang tiba-tiba berhenti menulis. Bapak berbalik menatapku dengan matanya yang tajam lalu beberapa detik kemudian mengetuk-ngetuk kursinya yang coklat kayu.
“Jadi kamu to yang ngambil kertas selebaran SMP 1 tadi?”. Bapak menatapku tanpa menunggu jawaban tapi aku mengangguk dengan tertunduk.
“Bener to mau sekolah di kota? Kota kan jauh nduk, jadi upik harus tinggal di kos”. Emak menyentuh bahuku dengan lembut.
“Ya sudah besok kamu ikut bapak ke kota”. Bapak membuat keputusan yang membuat hatiku seakan terlonjak. Aku tersenyum dan mengangguk senang lalu berlari keluar meninggalkan dua sosok yang amat ku cintai dibelakangku. Kulihat dari jendela mereka berbincang serius dan tentu saja membicarakan aku dan keinginanku sekolah di sekolah unggulan di kota sana. Kota yang tak pernah aku datangi dan tak tahu akan membentukku menjadi apa.