Selasa, 10 Mei 2011

there is no 2nd chance

14 Januari 2011

Yang biasanya aku inginkan adalah memiliki kebahagiaan sama seperti yang dirasakan oleh orang-orang yang baik. Tapi terkadang aku menyadari bahwa diriku sendiri tidak cukup baik untuk merasakan kebahagiaan. Tapi terkadang itu hanya karena kesialan atau memang benar-benar telah ditakdirkan begitu adanya. Beberapa orang merasa beruntung karena kebahagiaan yang didapatnya, sebagian merasa bangga, dan sisanya menyombongkan diri. Dan aku merupakan bagian yang paling hina karena aku tidak mengakui kebahagiaan yang telah diberikan kepadaku. Semoga apa yang dikatakan hujan waktu itu tentang langit yang menangis tidaklah isapan jempolnya belaka.

Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti seperti apa makna mengambil resiko itu. Seakan semua kemauanku akan dipenuhi oleh Tuhan, mungkin begitulah pikiran seorang anak kelas 6 SD. Seperti aku memutuskan untuk berangkat pagi-pagi gelap dan mendapati sepatuku basah tersiram rintik embun dirumput. Diatas sepeda motor tahun1990 milik bapak aku meringkuk karena dingin dipunggung bapak yang hangat. Ini pertama kalinya aku melakukan perjalanan dengan sepeda motor sejauh ini. Mesin sepeda motor itu menderu dan meninggalkan asap putih di belakang ketika bapak memanaskan mesinnya.
Dengan canggung aku berpegangan pada bapak. Tak pernah sebelumnya aku merasakan bapak begitu nyata didepanku membimbingku. Seakan hanya beliau yang akan menjagaku dari apapun di depan sana. Dadaku begitu tenteram dan tenang waktu itu seperti tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Satu jam perjalanan ke depan tidak terbayangkan olehku seperti apa. Jadi waktu berlalu bersama deretan pepohonan yang kulewati begitu saja sampai terkadang rasa kantuk menggelantung dan bapak selalu tahu ketika aku mengantuk, tiga ketukan di lutut bermaksud membangunkanku. Tapi terkadang ketukan itu sia-sia karena segera setelah itu mataku berat dan terpejam.

1 komentar: