Rabu, 23 Februari 2011

Am I grown up?


Remah keripik untuk hari ini :D
6 Desember 2010

Apa yang mereka katakan tentang sahabat seperti perkataan penyair dengan mata menyipit yang dibuat-buat. Mengumbar keindahan pada bibirnya sembari ia menelan ludah karena kebohongannya, menyenangkan sekali, tanpa ia tahu bahwa itu terlihat jelas. Tidak ada sahabat dari orang yang picik sepertiku, beruntungnya aku menyadarinya, beruntung.

Emak menyuruhku makan saat aku berhenti menulis secarik kertas yang akan kubawa ke kali hari ini. Gumpalan asap dari dapur membuatku justru semakin bergairah. Setelah menelan semampuku pada suapan terakhir, setengah berlari aku menuju meja kerja bapak dan mencari-cari kumpulan kertas edaran masuk SMP yang dibawanya dari kota. Aku beruntung bapakku seorang guru.
Kubawa secarik kertas yang kubuat hari ini, membawanya ke kali, di ceruk akar pohon yang setengah akarnya mati. Sejak kecil aku terbiasa membuang kertas-kertasku yang berharga di sana, sampai beberapa membusuk karena hujan dan basah.
Hari ini mendung dan udara lembab. Kulemparkan begitu saja sampah-sampahku lalu aku duduk di pinggir kali. Melamun sebentar tentang cita-citaku jadi guru lalu tak lama kemudian beranjak untuk kembali ke rumah, menemui bapak yang pasti sudah pulang dari sekolah, aku harus bicara.
Bapakku tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus, wajahnya tegas dengan kumis yang kebapakan. Menyenangkan ketika melihat bapak memperbaiki almari emak yang kakinya rompal tergilas rayap, membuatku dulu sempat ingin menjadi seorang tukang kayu atau semacamnya. Tapi bapak lebih sering diam dengan rokoknya, atau tidur ketika pulang kerja. Lebih sering aku diam ketika kami bersama-sama, menonton tivi atau belajar dan bapak di meja kerjanya yang terang.
Kudapati bapak bergeming dengan penanya di meja tamu.kacamatanya yang hampir melewati setengah hidungnya, bekilau-kilau terkena cahaya jam 4 sore yang redup dan malas karena mendung. Aku berdiri disamping kursinya yang coklat kayu. 10 detik berlalu tanpa bapak menyadari bahwa aku ada disana sampai ketika emak datang membawa segelas teh pekat dengan asap mengepul-ngepul di atasnya.
“Wah, kenapa nduk kok berdiri saja disitu? Mau ngomong apa sama bapakmu?”. Emak seakan bisa membaca pikiranku.
“Ngg…anu mak… upik pengen sekolah di kota”. Tertegun aku menelan ludah sambil melirik bapak yang tiba-tiba berhenti menulis. Bapak berbalik menatapku dengan matanya yang tajam lalu beberapa detik kemudian mengetuk-ngetuk kursinya yang coklat kayu.
“Jadi kamu to yang ngambil kertas selebaran SMP 1 tadi?”. Bapak menatapku tanpa menunggu jawaban tapi aku mengangguk dengan tertunduk.
“Bener to mau sekolah di kota? Kota kan jauh nduk, jadi upik harus tinggal di kos”. Emak menyentuh bahuku dengan lembut.
“Ya sudah besok kamu ikut bapak ke kota”. Bapak membuat keputusan yang membuat hatiku seakan terlonjak. Aku tersenyum dan mengangguk senang lalu berlari keluar meninggalkan dua sosok yang amat ku cintai dibelakangku. Kulihat dari jendela mereka berbincang serius dan tentu saja membicarakan aku dan keinginanku sekolah di sekolah unggulan di kota sana. Kota yang tak pernah aku datangi dan tak tahu akan membentukku menjadi apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar